Friday, April 22, 2011

Black Orchid

It's for an activity from a forum. It said that the contestants should make a VOCALOID fanfic, so here's mine. Don't read it if you don't understand Indonesian. I post it here because I should post the full version of the fanfic somewhere on the internet.


Black Orchid

2 Oktober,

Awal caturwulan baru setelah libur musim panas yang panjang. Aku tidak percaya ini menjadi hari terburuk.

Miki memakai sepatunya dan pergi ke sekolah. Liburan panjang yang menurutnya membosankan akhirnya usai juga. Sambil berjalan, beberapa kali ia merapikan rambut merahnya yang agak acak-acakan. Sebenarnya ia tidak begitu peduli. Tapi di awal caturwulan ini, ia ingin sedikit berubah.

‘Miki!’ seseorang berlari ke arahnya dan menyenggol pundak kanannya.

‘Piko-kun, hentikan. Itu kekanak-kanakan.’ tanggap Miki sambil menoleh ke arah laki-laki bertubuh tegap di sampingnya. ‘Musim semi ini kita akan jadi murid kelas 2 SMA.’

‘Yah, walaupun tak percaya, tapi kau benar.’ Piko tersenyum ringan.

Sekolah masih sedikit ramai saat mereka sampai. Lorong-lorong kelas dipenuhi murid yang sedang berbasa-basi. Omong kosong, pikir Miki, membicarakan sesuatu yang sia-sia. Tapi kemudian, telinganya mendengar percakapan yang.. tidak biasa.

‘..mayatnya ditemukan tanpa lengan kiri. Hiyama Kiyoteru-sensei.’

‘Untuk apa si pelaku mengambil tangannya, sebenarnya?’

‘Entahlah. Polisi tidak mendapat petunjuk yang otentik.’

Miki menghentikan langkahnya. Ia tidak percaya pada apa yang ia dengar. Hiyama-sensei yang diam-diam ia sukai, dibunuh? Dan tangannya diambil? Miki menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia tidak mau percaya pada berita yang baru ia dapatkan. Ia tidak terima. Ia menahan air matanya.

Tidak, ia menguatkan dirinya sendiri. Hiyama-sensei tidak akan pergi dengan tenang kalau ada seseorang yang tidak merelakannya.

‘Miki? Kau tidak ke kelas?’ tanya Piko.

‘Ah, ya.’

3 Oktober,

Aku masih sedikit syok atas kejadian kemarin. Tapi kemudian korban kedua ditemukan. Kagamine Rin-san dari kelas sebelah. Kami cukup akrab saat SMP karena kami sekelas waktu itu.

‘Akhir-akhir ini suasananya kurang enak.’ ucap Miku pada Miki dan Piko. ‘Karena pembunuhan itu.’

Miki terdiam. Berita yang ia dengar kemarin masih terngiang-ngiang di telinganya. ‘Ya.’ katanya pendek.

‘Kudengar polisi masih belum dapat petunjuk yang berarti.’ tanggap Piko.

‘Anggrek hitam.’

Piko, Miki dan Miku menoleh ke sumber suara bersamaan. Kagamine Len berjalan ke arah mereka. Ia masih memakai kacamata yang hanya ia pakai saat belajar. ‘Aku melihat sekuntum bunga anggrek hitam di samping mayat Rin. Dia kehilangan kaki kirinya.

Mereka bertiga terpaku mendengar apa yang diucapkan Len. Korban kedua. ‘Aku turut berduka cita atas saudara kembarmu.’ kata Miki.

Arigato.’ tanggap Len datar. Ia segera menyapu ekspresi sedih dari wajahnya dan berkata, ‘Aku sedang mencari tahu tentang pembunuhan aneh ini. Motifnya sungguh tidak masuk akal; mencuri bagian tubuh korban?’

‘Mungkin si pelaku punya kelainan?’ tebak Piko.

Len mengangkat kedua bahunya. ‘Entahlah, tapi yang aku yakin pelakunya lebih dari satu orang.’

‘Bagaimana kau tahu?’ tanya Miku.

‘Korban terpaku pada orang di hadapannya kemudian dibunuh dari belakang.’ jelas Len. ‘Memang tidak pasti, tapi di kasus Hiyama-sensei, polisi menemukan bukti bahwa beliau mundur beberapa langkah ke belakang sebelum dibunuh. Sepatu beliau meninggalkan jejak. Bukankah itu artinya beliau sedikit kaget atau ketakutan melihat orang di hadapannya?

‘Darimana kau tahu informasi sebanyak itu?’ tanya Miki. Ada nada takjub pada suaranya.

‘Pamanku polisi yang ditugasi kasus itu.’ jawab Len. ‘Kalau kau juga tertarik pada kasus ini, aku akan memberitahumu jika ada info baru.’

Arigato.’ kata Miki. Ia baru saja akan membuka mulutnya, tapi ia mengurungkan niatnya.

Entah darimana ia mendapat perasaan ini, tapi ia yakin.

Si pelaku mengincarnya.

Perpustakaan mulai sepi saat Len melangkah masuk. Ia memerlukan buku sejarah untuk tugas. Len menelusuri tiap rak dan berhenti di rak paling ujung yang penuh dengan buku-buku referensi. Ia memperhatikan tiap buku yang mungkin bisa ia jadikan sumber untuk tugasnya.

Suasana sunyi, dan Len menyadarinya. Ia menoleh ke belakang. Tak ada suara apa pun. Ia merasa aneh, tapi segera ia abaikan.

Konbanwa, Onii-san.’

Len menoleh. Seorang anak kecil berdiri di sampingnya. Rambut merahnya pendek di luar, sedangkan rambut panjangnya yang tertutup rambut pendek dikuncir ekor kuda. ‘Apa yang kaulakukan di sini?’

‘Aku mencari Onii-san.’ anak itu tersenyum cerah. ‘Onii-san, mau jadi temanku?’ ia mengulurkan tangan kecilnya.

Len terdiam—berpikir apa yang seharusnya ia jawab. Ia mulai curiga, tapi kemudian ia menjawab, ‘Boleh.’

‘Kalau begitu, ayo kita main!’ anak itu tersenyum semakin lebar dan menarik tangan Len.

‘Ah,’ tahan Len. ‘bagaimana kalau besok? Hari ini sudah terlalu gelap, bukankah kau harus pulang?’

Anak itu terdiam, dan raut wajahnya mengkeruh. Ia melepaskan pengangan tangannya. ‘Onii-san, tidak mau jadi temanku?’

‘Bukan be—’

Raut wajah anak itu berubah menjadi sebuah senyuman lebar, yang dingin. ‘Jadi, bagaimana kalau kaki kanan Onii-san saja yang bermain denganku?’

4 Oktober,

Aku melihatnya. Tepat seperti kata Kagamine-kun; ada anggrek hitam di samping korban. Dan.. Aku merasakan sesuatu yang aneh.

Jam menunjukkan pukul 6 pagi tapi Miki sudah bersiap untuk berangkat. Hari ini ia piket, dan itu artinya mau tidak mau ia harus datang lebih pagi dari biasanya.

Pikirannya mengambang saat Miki melihat mobil polisi yang berdering terparkir di depan sekolah. Dari gerbang ia dapat melihat beberapa polisi berjaga di depan pintu perpustakaan yang diberi garis polisi. Entah darimana tapi ia merasakan sesuatu; sesuatu yang sangat tidak enak.

Tanpa pikir panjang, ia berlari ke arah perpustakaan. Polisi yang berjaga berusaha menahannya untuk tidak melewati garis polisi, tapi ia berhasil masuk ke perpustakaan. Miki berdiri melewati pintu perpustakaan yang terbuka lebar dan mencari-cari apa yang sebenarnya terjadi di perpustakaan. Ia berdiri membeku begitu melihatnya.

‘K.. Kagamine.. kun..’ Ia menahan nafas.

Yang ada di hadapannya ialah Kagamine Len, terbaring kaku tanpa kaki kanan. Lantai di dekat mayatnya dipenuhi darah yang mulai mengering. Miki menahan dirinya untuk tidak berteriak. Ia melihat sekuntum bunga anggrek hitam tergeletak di atas punggung mayat Len yang tengkurap. Sedetik—hanya sedetik—ia teringat sesuatu.

Mikki!

Sebuah senyuman buram terlintas di benaknya. Miki tidak ingat jelas siapa pemiliknya; senyuman itu maupun suara yang memanggilnya. Tapi ia ingat seseorang, yang hanya memanggilnya dengan sebutan itu.

5 Oktober,

Aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku merasa sangat cemas. Aku tidak punya bukti bahwa si pelaku mengincarku tapi aku merasakannya. Dan ia semakin dekat..

‘Miki?’

Miki mendengar suara Piko dari telepon yang diangkatnya. Waktu menunjukkan pukul 8 malam. Ia baru saja selesai makan malam. Seperti hari-hari sebelumnya, orang tuanya tidak bersamanya.

‘Piko-kun? Ada apa?’ tanya Miki. ‘Sepertinya kau tidak membawa berita bagus.’

‘Memang tidak.’

‘Lalu?’

‘Hatsune-san, tadi sore.. Mayatnya ditemukan tanpa lengan kanan. Gomen.’

Tanpa sadar Miki menarik nafas. Ia sudah dekat. ‘Piko-kun.. Aku minta kau berhati-hati.’

‘Kenapa?’

‘Kurasa yang selanjutnya diincar adalah kau.’

‘Miki? Kau baik-baik saja? Kau tahu siapa pelakunya?’

‘Dengarkan aku dulu.’ Miki menarik nafas dalam-dalam. ‘Si pelaku mengincarku. Tapi pertama-tama ia ingin aku kehilangan semua teman dekatku, semua orang yang.. aku sayangi.’

‘Kau yakin? Bagaimana kau tahu kalau ia ingin kau kehilangan teman-temanmu?’

‘Karena dulu aku pergi meninggalkannya tanpa teman.’ jawabnya. ‘Pelakunya adalah teman masa kecilku, Iroha.’ Tak ada respon dari Piko untuk beberapa detik. Kemudian Miki melanjutkan. ‘Kau ingat, Kagamine-kun pernah bilang bahwa di samping mayat Rin-san ada anggrek hitam? Aku juga melihat anggrek itu saat.. Aku melihat mayat Kagamine-kun. Ia ingin menunjukkan padaku bahwa ialah pelakunya karena dulu kami sering bermain di bukit yang terdapat banyak anggrek hitam di sana. Ia ingin mengingatkanku pada hal itu.’

‘Miki, mungkin sebaiknya kau ceritakan padaku besok. Kurasa perasaanmu masih labil saat ini.’

‘Tidak, aku harus mengatakannya sekarang. Sebab,’ Miki menghentikan kalimatnya. tak ada kemungkinan aku bisa bertemu denganmu besok.

‘—sekarang pelaku mengincarku. Benar, ‘kan?’ Piko menebak. ‘Kau tidak perlu khawatir. Aku akan terus di sini, bersamamu. Aku tidak akan membiarkan pelaku itu menyakitimu.’

Miki diam terpaku. Ia tahu Piko tidak benar. Ia tahu Piko tidak mungkin bisa menghentikan si pelaku. Ia tahu Piko tidak mungkin bisa selalu bersamanya. Dan ia tahu, ia tidak akan sanggup jika kehilangan semua orang yang ia sayangi; Hiyama-sensei, Rin-san, Kagamine-kun, Miku-san dan Piko-kun. ‘Aku tidak tahu.. harus berbuat apa..’ kata Miki terpatah-patah. Ia mulai merasakan airmatanya jatuh ke pipinya. ‘Aku tidak ingin.. kehilangan apa yang kumiliki..’

‘Tidak, kau tidak akan kehilanganku. Percayalah, apa pun yang terjadi aku akan selalu berada di dekatmu.’

Miki tidak ingin percaya pada apa yang diucapkan oleh Piko, sebab itu hanya akan memberinya harapan kosong. Tapi setidaknya, kali ini ia sedang berbicara dengan Piko di ujung telepon dan itu menunjukkan bahwa Piko baik-baik saja. Untuk sekarang, itu cukup baginya. ‘.. Ya.’ Miki menghapus air matanya.

6 Oktober,

Selamanya, aku tidak ingin mengingat kejadian di hari ini.

Miki memasukkan dua kotak bekal ke dalam tasnya. Ia tahu Piko tidak pernah membawa bekal makan siang sendiri dan untuk kali ini saja, ia ingin membuatkan untuknya.

Mungkin, pikirnya. untuk yang pertama dan terakhir.

Miki tak ingin berpikir pesimis, tapi ia tahu bahwa kemungkinan ia tidak bisa bertemu Piko sangat besar. Ia tak punya bukti, kecuali perasaan dari dirinya sendiri.

Ohayou, Miki!’ seperti biasa, Piko menyapanya di jalan tak kurang dengan dorongan tangannya ke punggung.

Mau tak mau, Miki menyunggingkan senyum. Walaupun ini bukan saat terbaik untuk bersemangat dan ceria setelah kejadian beberapa hari yang lalu, tapi ia tidak ingin kehilangan kesempatan ini. ‘Piko-kun, kau tahu kalau aku tidak pernah suka sifatmu yang kekanak-kanakan, ‘kan?’

‘Masa’?’ tanya Piko, menunjukkan senyum jahilnya. ‘Miki, jujurlah sedikit!’ Piko mengacak-acak rambut Miki.

‘Pi—!!’ Miki tak bisa mengelak. Ia dapat merasakan wajahnya memerah dan ia sendiri tahu kalau ia tidak ingin Piko melihatnya. ‘Aku tidak menutupi apa pun.’

‘Kau kira aku tidak tahu?’ tanya Piko. ‘Bukankah aku orang yang paling mengerti soal Miki?’

Wajah Miki semakin memerah. Ya, sejak Miki pindah ke kota ini ia berteman dengan Piko. Piko bahkan mengetahui hal tentang Miki yang tidak diketahui oleh orang tuanya sendiri. Tapi sekarang, hal yang paling ia benci adalah fakta bahwa Piko merupakan orang yang terdekat dengannya. Dan artinya, nyawa Piko pun terancam; sama seperti yang lain. Miki tahu kalau ia tidak boleh egois, tapi bisakah ia melakukannya hari ini—hanya hari ini?

Bel makan siang berbunyi. Setelah membereskan meja, ia mencari Piko. Biasanya Miku otomatis mengunjungi mejanya. Membawa bekalnya dan makan di meja yang sama. Tapi tidak sejak hari ini. Sekarang Miki hanya punya Piko untuk menemani makan. Tapi ia tidak menemukannya. Firasat buruk memenuhi pikirannya namun Miki berusaha mengenyahkannya. Tidak mungkin secepat ini, ‘kan?

Miki mengambil kedua kotak bekal dan berdiri. Ia berjalan ke tempat yang mungkin biasa dilalui Piko, dan bertanya kepada murid lain. Tapi tak ada yang melihatnya.

‘Oh, Utatane-san? Kurasa tadi ia ke atap.’ jawab Megurine-senpai.

‘Ah, arigato.’ Miki membungkuk berterimakasih. Atap? Tumben sekali Piko ke atap sekolah. Bukankah ia takut berada di tempat tinggi? Atau jangan-jangan..

Sekali lagi Miki berusaha untuk tidak memikirkannya. Tapi kali ini ia merasakan perasaan yang betul-betul tidak enak. Dengan cepat ia melompati anak-anak tangga hingga ke atap. Tanpa sadar Miki telah mendobrak pintu menuju atap sekolah.

‘Piko—’

Tatapan mata Miki kosong. Tanpa sadar kedua kotak bekal yang ia bawa terjatuh dari genggamannya. Ia tidak bisa mendengar apa-apa kecuali hembusan angin kencang. Lututnya lemas, dan Miki jatuh terduduk. Masih menatap Piko yang ada di hadapannya. Miki melihat sekuntum anggrek hitam di samping Piko. ‘.. Tidak.. Tidak.. TIDAK!!’

Seketika itu pula gerombolan polisi dan petugas kesehatan keluar dari pintu tempat Miki lewat. Mereka segera mengerubuni mayat Piko yang hanya terdapat kepala, kedua lengan dan kedua kaki. Badannya dari pundak hingga pinggang menghilang.

‘Tidak—Piko-kun!! Piko-kun!! Tidak! Tidak! Tidak! Piko-kun!!’ Miki berusaha menggapai-gapai tubuh Piko tapi ditahan oleh beberapa polisi dari belakang. ‘Jawab aku! Piko-kun!! Tidak! Tidak!!’ Miki menangis, berteriak. Ia tidak menyangka bahwa ia tidak bisa kehilangan Piko. Sekalipun ia tahu bahwa Piko tidak bisa pergi dengan tenang jika ia menangis, tapi ia tidak dapat menahannya. Ia terlambat untuk menyadari kalau Piko adalah orang yang terpenting baginya.

***

Miki menutup buku hariannya. Ini adalah kali terakhir ia menulisnya. Sekalipun ia memenuhi tiap lembarannya, tapi Miki tak pernah ingin membacanya. Menurutnya, hidupnya bukanlah cerita yang pantas dibaca siapa pun. Biar saja, semua hal yang dialaminya tersimpan dalam pikirannya sendiri. Biar saja, semua perasaannya tertutup rapat dalam hatinya sendiri.

‘Mikki?’

Miki menahan nafas. Ia di sini. Miki menguatkan diri dan menoleh ke samping kirinya. ‘.. Iroha-chan..’

Iroha tersenyum ke arah Miki. ‘Ternyata rumahmu di sini. Kau tahu, aku sangat sedih saat kau meninggalkanku sepuluh tahun yang lalu.’ Iroha berjalan ringan mengelilingi Miki yang duduk di kursi, menghadap meja belajar.

‘Kenapa kau.. masih seperti sepuluh tahun yang lalu?’ Miki menatap Iroha yang tingginya tak lebih dari tinggi seorang anak berumur enam tahun. Miki tahu kalau Iroha seumuran dengannya, tapi kenapa Iroha masih seperti dulu?

‘Oh, ini. Aku berharap kita bisa bersama, tepat seperti sepuluh tahun lalu.’ Iroha tertawa renyah. Rambut kuncir kudanya bergoyang bersamaan saat ia berjalan. ‘Jadi aku minta seseorang untuk membuatku tetap seperti ini.’

‘Kau.. mau membunuhku? .. Seperti yang kau lakukan.. pada teman-temanku yang lain..?’ tanya Miki memberanikan diri. Keringat dingin membasahi telapak tangannya. Cepat atau lambat, Iroha pasti melakukannya. Miki tahu itu.

‘Membunuh? Tidak.’ jawab Iroha ringan. ‘Aku hanya meminjam salah satu bagian tubuh mereka. Dan Gakupo-san membantuku.’ Tepat setelah Iroha menyelesaikan kalimatnya, sesosok bayangan hitam dan tinggi muncul di samping Iroha. Walau takut, Miki berusaha mencermatinya baik-baik. Orang yang bernama Gakupo itu bertubuh tinggi tegap, dan ia memakai jubah hitam bertudung. Miki hanya bisa melihat kilatan matanya serta poninya yang berwarna ungu.

‘Untuk apa kau melakukan itu? Kau tahu kalau kau tidak bisa mengambil nyawa mereka begitu saja, ‘kan?’ gertak Miki.

‘.. Kau tidak mengerti apa-apa.’ Senyum Iroha yang lebar pudar dalam sekejap. Tatapan matanya yang awalnya ramah berubah menjadi tajam. ‘Dulu kau temanku yang berharga, dulu kau mau bermain di hutan bersamaku, dulu kau mau memetik bunga bersamaku. Saat kukira kita bisa melakukan itu selamanya kau justru pergi tanpa memikirkanku.’

Miki mengeraskan genggamannya. ‘Aku.. Aku pindah karena pekerjaan orang tuaku!’

‘Begitukah?’ Iroha menyunggingkan senyum sekali lagi. ‘Tapi sekarang aku akan punya teman yang selalu menemaniku. Sayangnya, ia belum selesai dibuat.’

‘Di.. dibuat?’

‘Ya! Dengan bagian tubuh yang kupinjam dari teman-temanmu aku akan membuat teman, seorang teman sejati. Aku juga mengambilnya dari mereka supaya kau bisa merasakan apa yang kurasakan sepuluh tahun lalu.’ jawab Iroha, masih tetap tersenyum. Gakupo yang berdiri tegak di sampingnya tidak bergeming. Miki tidak melihat pedang atau senjata apa pun padanya, tapi bisa saja Gakupo menyembunyikannya di balik jubah hitamnya.

‘Kenapa.. Kenapa kau harus melakukan itu?! Kau bisa saja menyusulku ke sini dan kita bisa bermain seperti dulu lagi, ‘kan?’ seru Miki. Ia tahu kalau ia menanyakan hal yang sia-sia. Sekalipun Iroha setuju dengannya, bukan berarti Iroha bisa mengembalikan semua teman-temannya.

‘Tidak bisa.’ jawab Iroha. ‘Mikki yang sekarang sudah melupakanku. Mikki yang sekarang sudah punya teman dan tidak memikirkanku lagi. Mikki yang sekarang,’ Iroha menghentikan kalimatnya. ‘Mikki yang sekarang tidak kubutuhkan lagi.’

Miki terdiam kaku. ‘A-apa.. maumu..?’ tenggorokannya tercekat. Sekarang, ia berhadapan dengan orang yang akan mencabut nyawanya.

Iroha berjalan ke depan Miki dan menggenggam tangan teman masa kecilnya. ‘Tenang saja, Mikki tidak sepenuhnya tidak berguna kok. Kau bisa melakukan sesuatu untukku.’ Iroha tersenyum tipis.

‘.. Apa itu?’ nada suara Miki semakin rendah.

Iroha tertawa kecil. ‘..Berikan kepalamu padaku.’

Craash!*

0 comments:

Post a Comment